Darahku
mendadak berdesir deras, detak jantungku mengencang, seperti sebuah
firasat yang tak kusuka. Apa pun yang terjadi pada Ibu, aku terima.
Vira
masih diam. Padahal sudah dua jam kami di sini, menikmati
teriakan-teriakan ombak, menyaksikan angin melempar ribuan buih menjauh
dari pantai. Aku tak tahu apa yang ada di kepalanya, Vira lebih suka
membiarkanku berpikir sendiri daripada membagi apa yang ia rasakan.
�Aku mau pulang,� ujarku bosan.
Vira tak menanggapi.
�Sudahlah, Sayang. Lupakan kesalahannya, ibu hanya manusia biasa yang bisa khilaf,� kucoba membujuk Vira.
�Tapi
aku malu, Kak. Kita ini anak-anak tak jelas, punya ibu tanpa tahu siapa
bapaknya.� Vira melempar lagi beberapa kerikil ke laut.
�Ibu pasti punya alasan kuat kenapa beliau begitu, kita tanyakan saja nanti.�
�Aku sudah sering melakukannya, dan yang kudapat kemudian adalah hal yang sama. Dia marah. Selalu begitu!�
Aku
mendesah panjang. Adikku Vira yang kini sudah bukan siswi SMA lagi
ternyata belum juga dewasa. Ia ingin segala sesuatu terlihat apa adanya,
mengalir begitu saja. Padahal hidup tak selamanya semudah dan sesimpel
itu, tapi sulit menjelaskan padanya. Vira tetap saja bungsu yang rapuh
dan manja.
�Pulanglah, Kak. Aku ingin di sini lebih lama,� lirih Vira berucap.
�Hari sudah sore, nanti Ibu mencemaskan kita.�
�Tidak, dia tak pernah peduli. Aku ingin ketenangan di sini.�
�Bukan di sini mencari ketenangan, Vira, ayolah!,� aku menarik tangannya lembut. Walau sempat menolak, akhirnya Vira luluh juga.
Sepanjang
perjalanan menuju mobil, Vira menggelayut di lenganku. Orang-orang yang
melihat pasti mengira kami adalah pasangan kekasih, siapa sangka, dua
orang yang sama sekali tak mirip ini lahir dari rahim yang sama? Vira
memang lebih dekat denganku daripada dengan Mbak Mia, saudara kami satu
lagi. Mbak Mia telah bersuami dan tinggal di rumahnya sendiri. Pada saat
pernikahan kakak sulung kami itulah terkuak bahwa ternyata bapak dari
aku, Vira, dan Mbak Mia adalah orang yang berbeda. Tentu saja kami semua
terpukul.
Entah bagaimana bisa ibu membohongi kami begitu lamanya,
entah apa yang beliau lakukan hingga bisa memasukkan nama fiktif
seseorang pada akta kelahiran ketiga anaknya, dan entah apa yang bisa
ibu lakukan untuk mengembalikan perhatian Mbak Mia dan keceriaan Vira.
Dua saudaraku memang serta merta memperlihatkan kekecewaan mereka pada
ibu. Bukan hanya karena mereka perempuan � yang seringkali mengedepankan
emosi daripada logika � tapi memang karena merekalah yang merasakan
langsung imbas dari aib ini.
Menjelang pernikahannya, Mbak Mia
mendesak ibu untuk memberitahu alamat Pak Suhairi, orang yang namanya
tertera pada akta kelahiran kami. Dulu ibu pernah bilang bahwa mereka
telah bercerai, dan untuk menambal kebohongannya, belakangan ibu bilang
Pak Suhairi telah meninggal, padahal sebelumnya ibu mengatakan tak
pernah lagi melakukan kontak dengan orang yang beliau akui sebagai bapak
kami itu. Lalu dari mana beliau tahu Pak Suhairi meninggal?.
Usut
punya usut, ternyata Pak Suhairi hanyalah kekasih Ibu di masa lampau, ia
tak bisa � menurutku tak bersedia � menghadiri pernikahan putrinya
karena sedang berada di luar negeri. Pak Suhairi cuma menyampaikan
permintaan maaf dan selamat kepada Mbak Mia, sekaligus memberi
pernyataan tegas bahwa ia hanya bapak dari Mbak Mia, bukan aku dan Vira.
Pantas kami tak mengenal kakek atau nenek selain dari pihak Ibu.
Aku
tak peduli semua itu. Bagiku hidup harus terus berjalan, toh semua
sudah terjadi. Perbaiki saja yang bisa diperbaiki, dan jangan mengulang
kesalahan serupa yang pernah diperbuat di masa lampau. Seburuk apa pun
ibu, beliau tetaplah ibuku, yang kurasakan cintanya dari dulu hingga
kini. Tapi tidak begitu bagi dua saudaraku.
Tiba di rumah, Vira
langsung mengunci diri di kamar. Kulihat ibu pura-pura tak menyadari
kehadiran kami. Aku tahu, beliau sedang berusaha menekan rasa sakit atas
perlakuan dua anak perempuannya. Tubuh yang kini ringkih itu menyandar
lemah di kursi santai ruang tengah, matanya menerawang, mungkin sedang
memandang ke masa lalunya yang kurasa pahit.
�Ibu,� sapaku.
Beliau menoleh, senyum lembutnya mengembang terpaksa.
�Maafkan Vira dan Mbak Mia, Bu.� Kuambil tangan ibu yang tak lagi halus, dan meletakkannya ke atas pangkuanku.
�Memang sudah sepantasnya begitu. Ibu ingin memberitahu sesuatu padamu, To.�
�Tidak
perlu, Bu. Ibu tidak usah menjelaskan apa-apa. Anto tetap sayang Ibu,
Anto tidak akan pernah menebak yang macam-macam tentang masa lalu Ibu,
seperti yang Mbak Mia dan Vira tuduhkan.�
�Tapi itulah kenyataannya, Nak.� Sontak airmata ibu mengalir.
Aku
terperangah tak percaya. Setahuku ibu adalah perempuan yang baik,
relijius malah. Mana mungkin ibu bergelut dalam dunia malam seperti yang
Mbak Mia dan Vira katakan. Mbak Mia termakan ucapan bapaknya, Pak
Suhairi, yang bilang bahwa bapakku dan bapak Vira adalah orang yang
berbeda. Tapi laki-laki pengecut itu tak menceritakan selebihnya, hanya
membuka aib. Apakah dulu, ketika ia bersama ibuku, ia tak merasakan
kebaikan perempuan itu? Mustahil.
�Dulu, setelah gagal menuntut
pertanggungjawaban Suhairi atas Mia, Ibu mencari laki-laki lain yang
bersedia menampung kami, karena kakek dan nenek kalian tak mau menerima
Ibu kembali,� ibu melanjutkan. �Seorang kenalan kemudian membawa Ibu ke
rumahnya, dan tanpa Ibu sadari, ternyata ia menjual Ibu kepada seorang
mucikari. Setelah itu...� ibu terisak.
�Sudahlah, Bu. Jangan
diteruskan jika itu menyakitkan,� kucegah Ibu melanjutkan, karena
telinga, kepala, dan hatiku merasa tersayat.
�Dengarkan, Nak! Barangkali ini kesempatan terakhir Ibu menyampaikannya.�
�Kenapa Ibu bicara begitu?�
Ibu tak mempedulikan protesku. �Ibu terjebak pelacuran, selama itulah kamu dan Vira lahir.�
Aku terhenyak sesaat, �Demi Tuhan, Anto tidak menyalahkan Ibu, Anto tahu Ibu terpaksa.�
�Tapi kenapa Ibu tidak mencoba untuk kabur dari sana?� tiba-tiba Vira sudah berada di belakang kami. Kulihat matanya memerah.
Aku
terperangah tak percaya. Setahuku ibu adalah perempuan yang baik,
relijius malah. Mana mungkin ibu bergelut dalam dunia malam seperti yang
Mbak Mia dan Vira katakan. Mbak Mia termakan ucapan bapaknya, Pak
Suhairi, yang bilang bahwa bapakku dan bapak Vira adalah orang yang
berbeda. Tapi laki-laki pengecut itu tak menceritakan selebihnya, hanya
membuka aib. Apakah dulu, ketika ia bersama ibuku, ia tak merasakan
kebaikan perempuan itu? Mustahil.
�Dulu, setelah gagal menuntut
pertanggungjawaban Suhairi atas Mia, Ibu mencari laki-laki lain yang
bersedia menampung kami, karena kakek dan nenek kalian tak mau menerima
Ibu kembali,� ibu melanjutkan. �Seorang kenalan kemudian membawa Ibu ke
rumahnya, dan tanpa Ibu sadari, ternyata ia menjual Ibu kepada seorang
mucikari. Setelah itu...� ibu terisak.
�Sudahlah, Bu. Jangan
diteruskan jika itu menyakitkan,� kucegah Ibu melanjutkan, karena
telinga, kepala, dan hatiku merasa tersayat.
�Dengarkan, Nak! Barangkali ini kesempatan terakhir Ibu menyampaikannya.�
�Kenapa Ibu bicara begitu?�
Ibu tak mempedulikan protesku. �Ibu terjebak pelacuran, selama itulah kamu dan Vira lahir.�
Aku terhenyak sesaat, �Demi Tuhan, Anto tidak menyalahkan Ibu, Anto tahu Ibu terpaksa.�
�Tapi kenapa Ibu tidak mencoba untuk kabur dari sana?� tiba-tiba Vira sudah berada di belakang kami. Kulihat matanya memerah.
�Anto, kamu dengar, kan?�
Kuletakkan
gagang telepon, kembali fokus pada Ibu dan Vira. Kedua orang terkasih
itu tak perlu tahu kabar apa yang kudapat. Pak Suhairi jangan sampai
memperbesar luka dalam diri Ibu karena puluhan tahun silam, apalagi
menambah luka itu di masa kini.
�Dari Mbak Mia-mu, kan?�
Aku hanya mengangguk, tak mampu membohongi Ibu dan tak tega pula untuk jujur.
�Apa katanya?�
�Tidak
penting, Bu. Teruskan saja pembicaraan dengan Vira, Anto mau ke dalam
dulu.� Aku hendak pamit, tapi Ibu cepat menangkap lenganku.
�Tunggu dulu, ada yang harus Ibu sampaikan sebelum terlambat.�
Darahku
mendadak berdesir deras, detak jantungku mengencang, seperti sebuah
firasat yang tak kusuka. Apa pun yang terjadi pada Ibu, aku terima.
Sekalipun jika aku turut terinfeksi, tak apa, aku bertekad dalam hati.
�Tak lama lagi Ibu akan meninggalkan kalian, karena...�
�Karena apa, Bu?� Vira memotong tak sabar.
�Ibu positif ha-i-ve.�
Vira terkulai di hadapan Ibu, ia seperti kehabisan tenaga, pun untuk sekadar melanjutkan tangisnya.
�Tapi
tenang saja, Ibu mendapatkannya setelah kalian lahir, dan Ibu sengaja
tidak menyusui anak-anak Ibu karena tahu ada penyakit yang bisa saja
tertular pada kalian.�
Andai Mbak Mia ada di sini, bagaimana mungkin
ia tidak menangis dan menyesali apa yang telah diperbuatnya pada Ibu.
Perempuan paruh baya itu kini tengah menjelang maut, tapi ia tampak
tegar. Tentu saja, karena aku dan ibu percaya, dengan atau tanpa
penyakit itu, setiap yang bernyawa pasti akan mati.
Kutekan beberapa
tombol di telepon, meminta Mbak Mia untuk mendengarkan langsung
kebenaran dari mulut Ibu, bukan dari bapaknya yang tak bertanggungjawab
itu. Di sampingku, Vira kian dalam membenamkan kepalanya ke pelukan Ibu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar